Tugas ke-IV Bahasa Indonesia 2
Membuat sebuah artikel argumentatif dengan topik "Berbahasa
Sesuai dengan Ranah Pemakaiannya"
by : Intan Dwi Anggraeni (13110563)
Opini Pertama : Satu bahasa bisa digunakan berbagai macam ragam
bahasa.
Ini adalah suatu contoh pada bahasa Indonesia. Dalam Bahasa
Indonesia mempunyai banyak ragam (varian) yang dipakai sesuai konteksnya.
Misalnya untuk acara kenegaraan atau keperluan akademis kita menggunakan bahasa
Indonesia baku. Sementara untuk keperluan sehari-hari, bahasa Indonesia yang
kita pakai bersifat tidak baku (informal) dan seringkali dipengaruhi oleh
bahasa daerah masing-masing. Kedua ragam tersebut dipakai secara bersamaan dan
beriringan dalam kehidupan dan mempunyai fungsi masing-masing. Adapun jika
ragam informal dari bahasa Indonesia pada akhirnya berkembang, itu adalah hasil
kreasi penutur bahasa yang hakikatnya memang penuh inovasi. Nah, maka dari pada
itu lahirlah bahasa gaul, yang kesemuanya adalah ragam informalnya bahasa
Indonesia. Karena dalam ranah bahasa baku untuk akademis dan kenegaraan
penuturnya tidak bisa berkreasi (karena dibatasi aturan-aturan dan kebakuan),
maka sangat wajar jika dalam ranah informal, penutur bahasa berkreasi, dan
tidak terkecuali dalam bahasa Indonesia. Bahasa Inggris pun demikian adanya.
Meskipun bahasa Inggris merupakan bahasa yang lebih mapan, bahasa Inggris juga
mempunyai ragam informalnya, dan bahkan ragam informalnya lebih dari satu dan
sangat dipengaruhi unsur kedaerahan. Situasi kebahasaan yang memungkinkan suatu
masyarakat dalam suatu wilayah yang menggunakan beberapa ragam bahasa dalam
kehidupannya dinamakan diglosia dan sangat lazim terjadi.
Opini Kedua : Dampak
Globalisasi terhadap Sikap Bahasa
Globalisasi sudah menjadi fenomena semesta; globalisasi, suka
atau tidak suka, juga mengubah sikap bahasa penutur Indonesia terhadap BI,
terutama di kota-kota besar di Indonesia, khususnya terhadap BI resmi, penggunaan BI resmi, termasuk bahasa nasional, dianggap kurang bergengsi
(kurang prestise), kurang nyaman (comfort),
kurang canggih, bahkan dirasakan kurang aksi/kurang bergaya (prestige motive). Sikap
ini juga terjadi pada media-media elektronik kita, dengan dalih era
globalisasi, mata-mata acara ditayangkan dengan bahasa Inggris, malahan
presenternya pun menggunakan bahasa gado-gado.
Demikian pula halnya sikap bahasa terhadap bahasa daerah, bahasa
daerah kita cenderung telah tergusur karena penggunaan bahasa daerah
dianggap kampungan. Sikap
seperti itu tidak boleh terjadi; ini amat berbahaya karena penggusuran terhadap
bahasa daerah akan berakibat terhadap tergusurnya kebudayaan daerah; hilangnya
bahasa daerah berarti hilangnya kebudayaan daerah. Itu akan menimbulkan
kekosongan/ kehampaan kebudayaan (cultural
void), ini akan mencengkeram masyarakat. Sebagaimana kita ketahui,
bahasa adalah jaringan sentral kebudayaan, di samping sebagai salah satu produk
kebudayaan itu sendiri. Penggantian budaya yang sudah mapan dan berakar oleh
budaya lain yang baru dan asing bisa menjadi fatal; ini akan menjadi krisis identitas
yang amat serius. Konon masyarakat yang kehilangan budayanya akan dihinggapi
penyakit kehilangan kepercayaan diri; masyarakat itu akan selalu bergantung
kepada orang lain, akan mencari tuntunan orang lain di dalam membuat
putusan-putusan.
Setakat ini sikap bahasa yang lain adalah kecenderungn memberi
gengsi tinggi terhadap BI ragam rendah/ragam bahasa gaul, termasuk suka
mencampur-campur unsur bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, di samping suka
beralih-alih ke bahasa tersebut, padahal konteks dan situasi komunikasi tidak
menuntutnya. Dengan kata lain, terdapat tumpang-tindih ranah penggunan bahasa.
Ranah yang menuntut penggunaan bahasa resmi disulih dengan bahasa ragam
rendah/bahasa gaul; konteks dan situasi interaksi resmi disulih dengan bahasa campur-campur
atau dengan konstruksi wacana yang penuh dengan interferensi dari nonbahasa
Indonesia resmi.
Secara kasat mata, globalisasi
juga menurunkan derajat kebakuan ragam bahasa resmi: BI resmi
mendapat gangguan dari bahasa asing, terutama bahasa utama dunia, seperti
bahasa Inggris; gangguan ini cenderung tampak pada tingginya gejala
interferensi (baik secara gramatikal maupun leksikal) dan gejala campur-campur
bahasa BI-BA/Inggris, termasuk pemanfaatan alternasi (beralih/alih bahasa) yang
sebenarnya tidak diperlukan/tidak dituntut dalam situasi komunikasi yang sedang
berlangsung. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa globalisasi
mengimplikasikan kecenderungan mengendurnya
semangat nasional pada generasi muda bangsa kita, terutama di
kota-kota besar.